Daya Serap PMN Rendah, Paket Kebijakan XV Pemerintah Dipertanyakan
20-09-2017 /
KOMISI VI
Daya serap penyertaan modal negara (PMN) oleh sejumlah BUMN bidang logistik sampai Juni 2017 ternyata sangat rendah, bahkan ada yang belum terserap sama sekali. Ini tentu saja tak sejalan dengan paket kebijakan ekonomi XV yang dirilis Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pengembangan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional.
Hal ini diungkapkan Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono di ruang kerjanya, Rabu (20/9/2017). Seiring rendahnya serapan PMN, Paket Kebijakan Ekonomi jilid XV pun mulai dipertanyakan efektifitasnya. “Serapan BUMN logistik sangat kecil dan lambat. Itu berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional. Apalagi, BUMN logistik memiliki multiplier effect yang sangat luas.”
Bambang mencontohkan beberapa BUMN logistik yang serapannya rendah adalah PT. Dok Kodja Bahari yang baru menyerap PMN 0,01%, PT. Pelayaran Nasional Indonesia 10,97%, PT. Pelindo IV 28,21%, PT. Pelni 27,9%, dan Angkasa Pura II 11,52%. Beberapa BUMN malah belum menyerap PMN-nya sama sekali, seperti PT. Djakarta Lloyd, PT. Pindad, PT. KAI. “Ini bukti paket kebijakan ekonomi XV tentang logistik tidak konsisten. Karena serapannya rendah, jadi tidak ada percepatan pendukung infrastruktur logistik,” tegas Bambang.
Mestinya sampai pertengahan 2017 ini, serapan PMN sudah mendekati 100%. Politisi Partai Gerindra ini menambahkan, dari data yang ada, sebagian BUMN yang daya serap PMN-nya rendah terkendala persoalan teknis, seperti pembebasan lahan, pergantian direksi, dan restrukturisasi korporasi. Dengan rendahnya serapan, tentu mengganggu daya produksi sejumlah BUMN bidang logistik.
Efek lain dari rendahnya daya serap adalah terganggunya dividen sejumlah BUMN yang harus disetor ke negara. Komisi VI, sambung Bambang, sudah mengarahkan setoran dividen berdasarkan Pasal 70-71 UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Bahkan, kata Bambang, beberapa BUMN yang PMN-nya belum diserap sama sekali sudah minta PMN lagi. Jakarta Llyod, misalnya, sudah diberikan PMN Rp379,3 miliar pada 2015, kini minta PMN lagi. Tentu ini dikritisi habis-habisan oleh Komisi VI DPR. (mh,mp) foto: ojie/od.